Dilema Dokter Gigi Spesialis dan Dokter Gigi Umum

Oleh : Ronny Baehaqi – Dokter Gigi di Surabaya

Sejarah  pendidikan dokter gigi di Indonesia telah dimulai dari era penjajahan oleh Belanda, kemudian pendudukan oleh Jepang dan masa kemerdekaan. Telah banyak dokter gigi yang dihasilkan dari proses pendidikan dokter gigi tersebut, dan seiring dengan tuntutan pelayanan pada masyarakat dan perkembangan keilmuan maka berkembang pula pendidikan dokter gigi spesialis. Dahulu, untuk memasuki jenjang tersebut seorang dokter gigi harus menempuh pendidikan spesialisasi di luar negeri, pada periode waktu tertentu dan pengakuan bahwa telah menjadi spesialis ditunjukkan dengan brevet yang didapatkan dari universitas tersebut. Pendidikan  dokter gigi spesialis di Indonesia telah dirintis oleh senior, guru besar di masing-masing bidang keilmuan dan sampai sekarang belum ada buku yang menjadi referensi sejarah dokter gigi spesialis.

Pada era tahun 80 dan 90-an seorang dokter gigi yang telah mendapatkan pendidikan tambahan selama 3-4 tahun dikenal dengan sebutan ahli, misalkan bedah mulut maka gelarnya adalah ABM (Ahli Bedah mulut), namun sudah ada pula yang menggunakan gelar spesialis, namun belum ada keseragaman penulisan gelar spesialis. Pada perkembangannya, penulisan gelar spesialis menjadi seragam menggunakan prefix sp didepan bidang keilmuan yang menjadi spesialisasi. Perubahan Kurikulum dan perubahan kelas jabatan serta program Jaminan Kesehatan Nasional Menggulirkan nuansa baru dokter gigi spesialis konsultan.Dengan makin banyaknya spesialis maka mulai terbentuk klaster sub keilmuan, yang pada akhirnya terdapat gelar konsultan tersebut mendapatkan penyetaraan kompetensi tambahan. Umumnya jenjang ini tidak didapatkan dari  pendidikan sub spesialis/sp2 namun dari pengakuan oleh kolegium berdasarkan kriteria tertentu. Wacananya, tahun 2023 untuk mendapatkan gelar tersebut harus melalui proses pendidikan tambahan bukan lagi melalui program pemutihan seperti saat ini.

Secara de jure, perkembangan ini  sangatlah bagus namun, kenyataan dilapangan berbeda 180 derajat. Dokter gigi spesialis masih banyak mengerjakan kasus-kasus yang menjadi kompetensi dokter gigi umum pun sebaliknya, banyak dokter gigi yang merasa pernah mengikuti suatu acara hands on mengerjakan kasus diluar kompetensinya. Akibatnya, sudah banyak aduan dari masyarakat dan sampai pada tuntutan hukum bahwa ternyata yang mengerjakan bukan spesialis. Antara dokter gigi Spesialis pun banyak yang tidak menjaga marwah profesinya, misalkan seorang dokter gigi spesialis bedah mulut  masih mengerjakan kasus ortodonsia dan sebagainya. Tumpang tindihnya kompetensi klinik antar spesialis yang tidak secara jelas memisahkan kompetensi satu dengan lainnya dan mungkin hal ini disebabkan karena bidang spesialis kedokteran gigi tidak seluas bidang kedokteran. Seorang dokter penyakit dalam misalnya tidak akan mungkin mengerjakan kasus pembedahan di kamar operasi.

Kompetensi klinis seorang dokter gigi itupun sangat jelas, namun banyak yang masih melanggar melampaui kompetensinya seperti mengerjakan kasus odontektomi kelas 3 dan dikerjakan di kamar operasi, hasilnya ada komplikasi fraktur mandibula dan berbuah pada sengketa medis yang bisa menyeret dokter yang bersangkutan ke ranah hukum. Kasus dokter gigi spesialis yang mengerjakan kompetensi dokter gigi juga sangat banyak, dan menjadikan problematika saat memasukan koding tindakan terutama pasien asuransi JKN dan asuransi umum. Permasalahan ini dikarenakan mindset dokter gigi spesialis menganggap dulunya juga mereka dokter gigi dan pernah serta bisa mengerjakan kasus tersebut. Seharusnya setiap dokter gigi dan dokter gigi spesialis patuh pada kompetensi dasar yang mereka dapatkan dari brevetnya, mulai menghargai antar sejawat dan tidak arogan menganggap lebih kompeten daripada sejawat. Apalagi dengan adanya kompetensi tambahan yang lebih memperdalam satu kasus spesialistik, contoh trauma maksilofasial dan temporo mandibula joint  pada sub spesialis bedah mulut dan maksilofasial, maka konsentrasi lebih pada kasus tersebut daripada kasus bedah mulut pada umumnya apalagi pada kompetensi dokter gigi.

Saling menghargai, saling memahami kompetensi dari masing-masing dokter gigi dan dokter gigi spesialis maka akan terjalin komunikasi rujukan kasus yang baik, meningkatkan mutu layanan kesehatan gigi dan mulut serta akan muncul penghargaan dari masyarakat bahwa dokter gigi sendiri terdapat spesialisasinya. Anggapan masyarakat sampai saat ini baik pada pasien Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan pasien asuransi, mereka mengganggap dokter gigi itu sendiri sudah spesialis gigi. Siapa lagi yang bisa menghargai diri kita kalau bukan dimulai dari diri kita sendiri, mulai untuk bekerja sesuai kompetensinya karena tujuannya untuk keselamatan pasien yang akan berujung pada keselamatan dokter gigi serta fasilitas pelayanan kesehatannya.

Posting Komentar untuk "Dilema Dokter Gigi Spesialis dan Dokter Gigi Umum"