Nasib Pendidikan Hospital Based di Tangan Mahkamah Konstitusi

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan kembali menjadi sorotan, kali ini menyangkut masa depan pendidikan dokter spesialis di Indonesia. Seorang Dekan, dokter spesialis, dan dua orang mahasiswa kedokteran mengajukan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, pasal yang dipermasalahkan adalah pendidikan dokter spesialis dan subspesialis peran dengan Rumah Sakit Pendidikan sebagai penyelenggara utama; yang sering diistilahkan sebagai hospital based.

Permohonan itu resmi diajukan pada 13 Agustus 2025 melalui Kantor Hukum Nanang Sugiri & Partners. Pemohon adalah Razak Ramadhan, Jati Riyanto, M Abdul Latif Kahamdilah, dan M. Hidayat Budi Kusumo, serta Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Jenderal Soedirman M. Mukhlis Rudi Prihatno. Sidang Pendahuluan Perkara di Mahkamah Konstitusi kemudian digelar pada tanggal 27 Agustus 2023 dipimpin dipimpin Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Saldi Isra bersama dengan Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur dan Hakim Konstitusi Arsul Sani.

Pemohon mengajukan uji materi terhadap Pasal 187 ayat (4) dan Pasal 209 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang membuka jalan bagi rumah sakit pendidikan untuk mengambil alih posisi perguruan tinggi sebagai penyelenggara utama pendidikan spesialis kedokteran, yang kemudian menempatkan perguruan tinggi hanya menjadi mitra.

Menurut para pemohon, aturan tersebut berpotensi menimbulkan dualisme sistem pendidikan. Model hospital based dinilai melemahkan sistem yang selama ini berlandaskan universitas atau university-based sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pendidikan Tinggi dan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional. Kekhawatiran lain adalah timbulnya ketidakpastian hukum, konflik kepentingan, hingga diskriminasi antar peserta didik yang memiliki latar belakang berbeda dalam menempuh pendidikan. Rumah sakit juga dipandang tidak memiliki kapasitas penuh untuk menjalankan tridarma perguruan tinggi, yakni pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat; terutama menyangkut kewenangan pemberian gelar akademik.

Selain itu, mereka menyoroti potensi penurunan kuota pendidikan spesialis di universitas, yang pada akhirnya dapat menimbulkan kecemburuan dan ketidakadilan antar peserta didik. “Undang-Undang Kesehatan ini bukan buruk, tapi pendidikan memang harus diatur berbeda,” tegas Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Jenderal Soedirman,  M. Mukhlis Rudi Prihatno. Ia menggarisbawahi bahwa peralihan peran utama dari universitas ke rumah sakit bisa merusak tatanan yang telah lama dibangun dan mengurangi jumlah peserta didik, sehingga tidak sesuai dengan tujuan menambah jumlah peserta didik dan lulusan dokter spesialis.

Gugatan ini menyingkap dilema yang lebih luas. Di satu sisi, negara membutuhkan percepatan suplai tenaga medis untuk menjawab kebutuhan layanan kesehatan masyarakat. Di sisi lain, terdapat tanggung jawab menjaga integritas sistem pendidikan tinggi agar tidak tercerabut dari fondasi akademisnya. Sengketa di Mahkamah Konstitusi ini mempertemukan dua kepentingan besar: efisiensi pelayanan kesehatan dan konsistensi standar pendidikan nasional.

Kasus tersebut kini masih dalam tahap awal, namun jelas memperlihatkan bahwa arah pendidikan kedokteran Indonesia sedang berada di titik kritis. Putusan Mahkamah Kontitui nantinya bukan hanya akan menentukan nasib pasal-pasal dalam Undang-uandang Kesehatan, tetapi juga menjadi penentu nasib pendidikan dokter spesialis dan subspesialis di masa mendatang. [Artikel : Fathin Vania Rahmadani; Foto : Mahkamah Konstitusi; Editor : Messya Rachmani] 


Posting Komentar untuk "Nasib Pendidikan Hospital Based di Tangan Mahkamah Konstitusi"