Banyak media sosial yang dapat digunakan oleh orang awam seperti Whatsapp, Line, Facebook, Twitter, Google+, Line, Path, Instagram, dan lain-lain. Pengguna media sosial di
Indonesia bukan main jumlahnya, bahkan menurut
Digital in 2016 Report dari 88,1 juta pengguna internet di Indonesia, 79
juta diantaranya menggunakan internet untuk mengakses media sosial. Dari jumlah
tersebut 19% pengguna BBM, 15% Facebook, 14% Whatsapp, sisanya media sosial
lainnya.
Komunikasi di media sosial sejatinya
adalah turunan dari komunikasi lisan. Oleh karena itu menjadi cocok dengan
orang Indonesia yang sejak dahulu mengedepankan komunikasi lisan daripada
komunikasi tulisan. Media sosial juga cocok dengan orang Indonesia yang senang
kumpul-kumpul, ini sejalan dengan sifat grup di media sosial, maka kemudian
dibuatlah grup teman SD sampai teman kuliah, grup teman kantor, grup keluarga,
dan lain sebagainya.
Saat ini rasanya akan sulit
menemukan dokter gigi yang tidak memiliki media sosial, dan karena orang lain
tahu kita dokter gigi, maka sudah wajar bila ada permasalahan kesehatan gigi banyak
yang menanyakannya kepada kita. Termasuk menanyakan dimana tempat prakteknya,
berapa harga perawatan, dan lain sebagainya.
Di sisi lain sebagaimana juga
orang dengan profesi lain, sekali-kali dokter gigi ingin juga berbagai
kebahagian dengan teman-teman medsos. Misanya baru renovasi tempat praktek
kemudian kita foto dan di-share di medsos, ada artis datang berobat
kemudian berfoto bersama di tempat praktek di-share di medsos.
Setelah itu, tanpa kita suruh
apalagi bayar. akan banyak yang berkomentar share-an kita. Orang yang
baru berobat ke dokter gigi kemudian membuat testimoni di medos lengkap dengan
foto-fotonya. Ada pula orang yang menganjurkan orang lain berobat di
tempat kita dilengkapi dengan ulasan dan
pujian setinggi langit layaknya ulasan pengunjung restoran enak. Apakah ini
termasuk promosi yang dilarang kode etik? Agaknya diperlukan revisi terhadap
Kode Etik Kedokteran Gigi Indonesia agar pertanyaan ini terjawab.
Selain komunikasi normal,
kalangan dokter gigi ternyata ada yang menggunakan media sosial untuk promosi
dari mulai promosi melalui kata-kata sampai mengirim image berupa iklan.
Pemanfaatan media sosial seperti inilah yang kemudian menjadi ganjalan karena
tidak sesuai dengan kode etik.
Dalam Kode Kedokteran Gigi
Indonesia, dokter gigi dilarang melakukan promosi dalam bentuk apapun seperti
memuji diri, mengiklankan alat dan bahan apapun, memberi iming-iming baik
langsung maupun tidak langsung dengan tujuan agar pasien datang berobat
kepadanya.
Bila Kemudian promosi memang
merupakan barang haram bagi dokter gigi termasuk di media sosial, kenapa selama
ini dilakukan pembiaran. Siapa yang bertanggung jawab menindak dokter gigi
nakal yang berpromosi di media sosial?
Melihat di aturan PDGI,
penindakan terhadap pelanggaran etika ternyata menjadi tanggung jawab Majelis
Kehormatan Etik Kedokteran Gigi (MKEKG) yang seharusnya ada di tiap Cabang
PDGI. MKEKG dapat memanggil dokter gigi bila ada pengaduan, atas permintaan
pengurus PDGI, atau MKEG menduga ada pelanggaran etik.
Melalui mekanisme sidang MKEKG
kemudian akan dijatuhkan sanksi bagi pelanggaran etika berupa: peringatan
lisan, peringatan tertulis, serta penarikan rekomendasi SIP sehingga otomatis
menyebabkan SIP tidak berlaku.
Melihat mekanisme ini tentu
diperlukan PDGI atau MKEKG yang anggotanya banyak waktu untuk menelisik media
sosial para dokter gigi, kemudian berani melakukan penindakan. Bukan sebuah
pekerjaan mudah, karena ketika sebuah promosi ditemukan, pada saat yang sama
muncul promosi baru di media sosial yang lain dengan jumlah yang lebih banyak.
Akhirnya, pendekatan kesadaran
akan lebih rasional dilakukan dipadu dengan pendidikan etika yang berdasar pada
Kode Etik Kedokteran Gigi Indonesia karena mustahil PDGI mengawasi lalu lintas
komunikasi dari tiap gadget anggotanya yang berjumlah puluhan ribu.
0 comments:
Posting Komentar