Diskon Perawatan Gigi: Siapa yang Untung dan Siapa yang Buntung?

Oleh: Belly Sam - Praktisi dan Akademisi di RSGM Unpad

Jika hari ini kita melintasi kota-kota besar di Indonesia, kita akan melihat sebuah lanskap baru yang belum pernah terjadi sebelumnya. Klinik-klinik gigi tumbuh bak deretan butik mewah: lobi yang menyaingi hotel premium, ruang perawatan yang dibalut estetika modern, pencahayaan dramatis, desain tematik yang membuat setiap sudutnya layak tampil di media sosial. Ruang yang dulunya sederhana dan fungsional kini berubah menjadi panggung visual yang memanjakan mata dan tentu memakan biaya besar. Fenomena ini berjalan bersamaan dengan menjamurnya klinik kecantikan dan estetika, menciptakan batas kabur antara layanan medis dan industri gaya hidup.

Kesan glamor ini semakin diperkuat oleh kehadiran media sosial. Publik dengan mudah melihat parade konten klinik, video sinematik yang menampilkan dokter gigi dan perawat dalam balutan seragam modis, berjalan bak model catwalk, resepsionis tersenyum dalam adegan yang dikoreografikan, perawatan direkam seolah sebuah pertunjukan, dan klinik dipromosikan layaknya destinasi wisata. Tenaga medis yang seharusnya berdiri sebagai figur ilmiah dan profesional, sering kali diposisikan sebagai bagian dari eksibisionisme visual, bukan sebagai praktisi kesehatan. Ini bukan lagi sekadar strategi pemasaran, ini mengubah persepsi publik tentang apa itu klinik gigi dan siapa itu dokter gigi.

Fenomena ini indah di permukaan, tetapi menyimpan paradoks yang lebih besar. Semakin mewah tampaknya sebuah klinik, semakin tidak masuk akal tarif layanan yang mereka tawarkan. Promo diskon besar-besaran, perawatan behel all-in seharga satu juta rupiah, scaling Rp 50.000, paket “bayar satu dapat dua”, hingga undian perawatan gratis, semua dilakukan secara terbuka, masif, dan tidak jarang agresif. Dalam logika pasar umum, promosi semacam ini mungkin dianggap wajar. Namun dalam dunia kesehatan, hal ini mengirimkan sinyal yang mengkhawatirkan.

Sebagai seseorang yang berpraktik sejak 1999, saya merasakan perubahan ini bukan sebagai penonton, melainkan sebagai pelaku yang menempuh perjalanan panjang profesi. Saya menyaksikan era ketika praktik mandiri berdiri di atas kepercayaan. Ketika dokter dikenal karena integritas, bukan karena gimmick. Ketika keputusan klinis berada sepenuhnya di tangan profesional, bukan strategi pasar. Dua puluh tahun lalu, saya turut merintis model klinik kolektif di Bandung sebagai salah satu pionirnya karena khawatir profesi ini suatu hari akan digerakkan oleh modal besar jika dokter-dokter tidak bersatu membangun rumah mereka sendiri.

Ketakutan itu kini menjadi kenyataan. Model klinik yang dulu dibangun dengan idealisme profesi telah berubah menjadi ladang pasar yang digerogoti modal besar. Mereka datang dengan perhitungan yang sangat matang. Para pemodal ini bukan pemain kecil. Mereka bagian dari gurita bisnis multisekor yang tahu kapan harus membakar uang, kapan harus menyerang pasar, dan kapan harus memanen. Mereka tidak masuk ke bisnis yang membuat mereka rugi. Mereka sudah menghitung semuanya. Dalam hitungan mereka, bisnis klinik gigi adalah tambang emas masa depan, asal mereka bisa menguasai ekosistemnya lebih dulu. Tarif murah yang kita lihat hari ini bukanlah hadiah, ia adalah strategi. Strategi yang tujuannya sederhana: tundukkan pasar, jinakkan kompetisi, biasakan publik, eliminasi klinik kecil, lalu kendalikan harga di masa depan.

Sementara masyarakat merasa diuntungkan, mereka sebenarnya tidak pernah tahu siapa yang membayar biaya sesungguhnya dari perang harga ini. Mereka tidak tahu bahwa tarif rendah sering datang dengan konsekuensi: kualitas dan waktu perawatan yang tidak memadai, keputusan klinis yang dipengaruhi target, tenaga medis yang bekerja dalam tekanan, dan standar mutu yang mudah dikompromikan. Publik hanya melihat harga, mereka tidak melihat harga yang sesungguhnya dibayar oleh profesi. Karena korban paling besar dari fenomena ini bukan masyarakat, tetapi para dokter gigi itu sendiri.

Semakin banyak sejawat yang menjalani profesinya dalam struktur yang membuat mereka tak ubahnya “Budak Korporat”, istilah yang keras, tetapi jujur mencerminkan realitas di lapangan. Banyak dokter bekerja dengan gaji pokok rendah, jasa medis hanya diberikan bila target omzet tercapai, perawatan pasien diskon sering kali tidak memberikan insentif apa pun, dan keputusan klinis dipengaruhi oleh sistem bisnis yang mereka tidak kuasai. Dokter menjadi operator, bukan profesional. Yang memegang kendali bukan ilmu, tetapi grafik bulanan. Sementara itu, para pemodal besar tinggal menunggu waktu. Mereka telah menanamkan modal, membentuk pasar, memperluas jaringan, mengontrol narasi melalui media sosial, dan menguasai perhatian publik. Ketika kompetisi mengecil, mereka akan memanen keuntungan yang mereka incar sejak awal; dan ketika saat itu tiba profesi ini mungkin sudah terlalu lemah untuk melawan.

Inilah krisis terbesar profesi dokter gigi Indonesia. Krisis martabat, krisis identitas, krisis masa depan kita semua; dan ironisnya semuanya terjadi di depan mata kita sendiri. Dalam situasi seperti ini, peran organisasi profesi bukan hanya penting, tetapi mendesak dan mutlak. PDGI, sebagai satu-satunya organisasi profesi dokter gigi di Indonesia, harus membaca fenomena ini sebagai ancaman eksistensial. Hubungan PDGI yang kini mulai kembali harmonis dengan Kementerian Kesehatan harus dimanfaatkan untuk menata ulang seluruh ekosistem layanan kesehatan gigi, dari regulasi promosi, penegakan tarif yang rasional, hingga perlindungan tenaga medis dari eksploitasi model bisnis yang destruktif.

Tetapi perubahan tidak cukup datang dari atas. Profesi hanya dapat diselamatkan jika kita, para dokter gigi, menyadari bahwa kita sedang berada di titik kritis. Bahwa kompetisi tidak sehat yang kita biarkan terjadi hari ini adalah racun yang kita telan perlahan. Bahwa profesi ini hanya akan bertahan jika kita berhenti melihat sejawat sebagai lawan, dan mulai melihat mereka sebagai saudara seperjalanan yang tengah menghadapi badai yang sama.

Kita membutuhkan solidaritas profesi. Kita membutuhkan model klinik milik dokter. Kita membutuhkan konsorsium alat dan bahan untuk menekan biaya. Kita membutuhkan standar promosi yang bermartabat. Kita membutuhkan edukasi publik yang jujur tentang nilai mutu. Dan kita membutuhkan keberanian untuk berkata: cukup.

Diskon dalam perawatan gigi bukan sekadar angka merah di spanduk. Itu adalah gejala penyakit yang lebih besar. Itu adalah cermin arah profesi. Itu adalah tanda bahwa kita harus bangun. Pertanyaannya kini bukan lagi siapa yang untung dan siapa yang buntung. Pertanyaannya adalah: “Apakah kita akan membiarkan profesi ini berubah menjadi industri yang menghisap tenaga medisnya sendiri? Atau kita akan berdiri bersama, meluruskan kembali arah profesi, dan menyelamatkan kehormatan yang telah diwariskan kepada kita?” Jawaban itu berada di tangan kita semua sekarang. Karena martabat profesi dokter gigi Indonesia bukan untuk dijual, apalagi untuk didiskon.

Posting Komentar untuk "Diskon Perawatan Gigi: Siapa yang Untung dan Siapa yang Buntung?"