Jumat, 16 Oktober 2020

TERNYATA ADA SNI UNTUK PRODUK KEDOKTERAN GIGI

Selama ini standar produk kedokteran gigi --bahkan diajarkan di bangku kuliah-- mengacu pada ADA atau ISO, ternyata hal itu keliru karena di Indonesia acuan standar produk adalah SNI sesuai amanat Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2014.
SNI atau Standar Nasional Indonesia bukan kata asing bagi masyarakat Indonesia termasuk dokter gigi, selain karena logonya hampir selalu muncul di setiap produk konsumsi harian seperti mie instan dan air mineral, juga SNI pernah menjadi topik berita nasional pada saat diharuskan tertera pada helm pengendara motor. SNI adalah penilaian kesesuaian produk yang dikeluarkan oleh Badan Standardisasi Nasional (BSN), Dasar hukum yang mengatur perlunya standardisasi produk yang beredar adalah UU No. 20 Tahun 2014 tentang Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian.
Hal itu terungkap dalam Seri Bedah Standar-nya BSN pada Kamis 15 Oktober 2020 yang digelar melalui kanal daring Zoom, Youtube, dan Facebook. Acara yang merupakan agenda rutin BSN ini bertujuan untuk memperkenalkan standar spesifik kepada pemangku kepentingan dan masyarakat. Topik yang dipilih dalam acara adalah “Mengenal SNI di bidang Kedokteran Gigi”. Acara ini dibuka oleh Zul Amri, ST. selaku Kepala Biro Hubungan Masyarakat, Kerja Sama, dan Layanan Informasi BSN. Narasumber yang ditampilkan terdiri dari : Dr. Wahyu Purbowarsito S.W., M.Sc. selaku Direktur Pengembangan Standar Agro, Kimia, Kesehatan, dan Halal, BSN; Dr. drg. Yosi Kusuma Eriwati, M.Si. selaku Ketua Komite Teknis 11-12 / Ketua Ikatan Peminat Material dan Alat Kedokteran Gigi Indonesia (IPAMAGI); serta drg. Mirza Mangku Anom, Sp.KG. dokter gigi di Jogja International Hospital dan Syaify Dental Clinic.
Masyarakat sebagai konsumen memiliki hak untuk mendapatkan produk yang aman untuk kehidupan sehari-hari. Menurut data Rikerdas tahun 2018, 268 juta penduduk Indonesia rata-rata memiliki 4-5 gigi yang bermasalah dan merupakan salah satu dari 10 penyakit pada pelayanan primer. Terdapat 34.000 dokter gigi di Indonesia menggunakan material dan peralatan kedokteran gigi untuk pelayanan kesehatan gigi dan mulut. Namun tidak semua material dan peralatan kedokteran gigi sudah teruji aman bagi kesehatan untuk digunakan. Maka dari itu diperlukan standardisasi yang mengatur acuan yang harus terpenuhi agar material dan peralatan yang digunakan dalam bidang kedokteran gigi teruji aman dan biocompatible.
Pada Pasal 1 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2014 menyebutkan “standar adalah persyaratan teknis atau sesuatu yang dibakukan, termasuk tata cara dan metode yang disusun berdasarkan konsensus semua pihak/pemerintah/keputusan internasional yang terkait dengan memperhatikan syarat keselamatan, keamanan, kesehatan, lingkungan hidup, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pengalaman, serta perkembangan masa kini dan masa depan untuk memperoleh menfaat yang sebesar-besarnya.” Selain itu, terdapat amanat Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan pasal 42 yang berisi, “Teknologi dan produk teknologi kesehatan harus memenuhi standar yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.”
Bukti dari telah teruji amannya suatu produk adalah dengan adanya SNI. SNI, singkatan dari Standar Nasional Indonesia, adalah dokumen berisi ketentuan teknis (aturan, pedoman, atau karakteristik) dari suatu kegiatan atau hasilnya yang dirumuskan secara konsensus dan ditetapkan oleh BSN dan berlaku secara nasional untuk dipergunakan oleh stakeholder dengan tujuan mencapai keteraturan yang optimum ditinjau dari konteks keperluan tertentu. Konsensus dalam penetapan standardisasi sangat diperlukan untuk menjamin agar suatu standar merupakan kesepakatan pihak yang berkepentingan. SNI di lingkup Kedokteran Gigi melibatkan regulator (Kemenkes, Kemenperin, dan BSN), produsen (GAKESLAB), pakar (FKG/IPAMAGI), dan konsumen (IPROSI, YLKI).
Manfaat yang bisa didapatkan jika material dan peralatan dental telah mendapatkan SNI antara lain, adanya acuan transaksi pasar untuk memilih produk berkualitas, adanya acuan pengawasan produk masuk dan beredar di masyarakat, adanya acuan industri dan berproduksi, dan acuan bagi masyarakat untuk hidup aman, nyaman, sehat, tertib, dan teratur dengan memudahkan konsumen awam memilih produk yang aman, sehat, dan bermutu.
Tingkat kepercayaan barang dengan SNI juga bisa dibandingkan dengan barang dengan standar internasional dari ISO. Ada beberapa jenis SNI yang terdapat di Indonesia. Jika SNI pengembangan sendiri oleh Indonesia, biasanya ditandai dengan kode unik SNI xxxx:2019. SNI pengembangan sendiri ini isinya telah di sesuaikan dengan kondisi-kondisi khusus yang ada di Indonesia. Jenis selanjutnya adalah jenis SNI adopsi, ditandai dengan kode unik SNI ISO xxxx:2019. SNI ini sama standarnya dengan standar internasional.
SNI di bidang kedokteran gigi dirumuskan oleh Komite Teknis 11-12 yang saat ini diketuai oleh Dr. drg. Yosi Kusuma Eriwati, M.Si. Lingkup kerja Komite Teknis 11-12 dijelaskan dalam Kepka BSN No. 238/KEP/BSN/5/2019 yang meliputi: istilah dan definisi; kinerja, keselamatan, dan persyaratan spesifikasi dari produk-produk dental (material dan peralatan dental); dan metode uji laboratorium yang relevan untuk kebutuhan klinis dan berkontribusi dalam meningkatkan kesehatan global.
Saat ini sudah dirumuskan 35 SNI dengan 7 SNI terbit dibawah tahun 2000, sehingga memerlukan kaji ulang apakah masih layak digunakan. Beberapa SNI yang telah diterbitkan di bidang kedokteran gigi oleh Komite Teknis 11-12 dan BSN masih sangat terbatas, contohnya SNI 8616:2019 tentang Material Substitusi Tulang – Karbonat Apatit bidang kedokteran gigi – Bagian 1 : Karbonat Apatit dengan pengikat gelatin; SNI ISO 3107:2011 tentang Semen Seng Oksida (eugenol dan non eugenol). 
Proses standardisasi tingkat internasional dipegang oleh International Organization for Standardization (ISO).  ISO adalah organisasi independen dan non-pemerintahan dengan member 165 negara. Dalam organisasi ISO, terdapat bagian yang khusus merumuskan berbagai standardisasi di bidang kedokteran gigi, yaitu TC (Technic Committee) 106 Dentistry. Komite teknis ini terbagi lagi menjadi 8 Subkomite Teknis dan 1 kelompok pakar (Working Group).  Saat ini TC 106 Dentistry sudah menerbitkan 184 Standar ISO dan 57 standar yang sedang dalam proses pengembangan. Hal ini tentu sangat berbeda dengan Komite Teknis 11-12 di Indonesia yang baru menerbitkan 35 SNI saja.
TC 106 Dentistry tidak bekerja sendirian, namun bekerja sama dengan beberapa bidang standardisasi lainnya dalam ISO, contohnya dengan ISO/TC 150/SC 7 Tissue-engineered medical products, ISO/TC 156 Corrosion of metals and alloys, dan ISO/TC 217 Cosmetics. Selain itu, TC 106 Dentistry juga bekerja sama dengan beberapa organisasi dental di berbagai negara, seperti FDI (World Dental Federation), FIDE (Federation of the European Dental Industry), IDM (International Dental Manufacturing), dan WCO (World Customs Organization). Hal-hal yang diatur dalam SNI kedokteran gigi antara lain ruang lingkup, acuan normatif, istilah dan definisi, klasifikasi, persyaratan dan rekomendasi, sampling, pengujian, petunjuk produsen, penandaan, dan kemasan. 
Terbatasnya SNI di bidang kedokteran gigi dan belum banyaknya sosialisasi mengenai SNI ini membuat tidak adanya pengetahuan dokter gigi tentang SNI di kedokteran gigi. Terdapat beberapa tantangan mengenai standardisasi material dan peralatan kedokteran gigi, hal ini disampaikan oleh drg. Mirza Mangku Anom, Sp.KG. Tantangan tersebut antara lain mayoritas material dan peralatan kedokteran gigi merupakan barang impor dan perkembangan material dan peralatan kedokteran gigi di luar negeri sangat cepat. Jika harus melalui proses standardisasi terlebih dahulu, tentu akan memakan waktu yang sangat lama dan jelas bisa mengakibatkan harga produk semakin mahal. Selain itu, hampir tidak ada produsen yang menjelaskan apakah produknya telah mendapatkan sertifikat SNI atau belum.
Untuk menjawab beberapa tantangan dan keresahan dokter gigi di atas, Dr. drg. Yosi Kusuma Eriwati, M.Si mengungkapkan beberapa solusi yang bisa dilakukan dokter gigi jika belum ada SNI pada material dan peralatan yang digunakan. Solusi itu antara lain, minimal produk tersebut sudah memiliki standar ISO, ikuti petunjuk pabrik, baca label komposisi dan toxic rate, dan memiliki lambang CE (CE Marking) yang mengindikasikan produk itu sehat, aman, dan ramah lingkungan sesuai standar European Economic Area (EEA). [Berita, Foto : Nadia Faradiba]

0 comments:

BERITA

ACARA

ORGANISASI

WAWASAN

OPINI

 
Hak cipta copyright © 1997-2024 Dentamedia, isi dapat dikutip dengan menyebutkan sumbernya
© free template by Blogspot tutorial